SINAR, CAHAYA ILMU, DAN KEBENARAN MATA HATI

SINAR, CAHAYA ILMU, DAN KEBENARAN MATA HATI

Share This


Sinar mata hati memperlihatkan betapa dekatnya Allah denganmu, mata hati memperlihatkan ketiadaanmu dengan wujudnya Allah, kebenaran mata hati menunjukan adanya Allah bukan dengan ketiadaanmu atau wujudmu.


          SYEKH Ibnu Athoillah menyebutkan dalam kata hikmah ini ada tiga maqom:
          Pertama, Syua’ul Bashirah (Sinar mata hati). Sinar mata hati ini adalah cahaya akal. Orang yang menyaksikan bahwasannya Allah itu ada dan Allah itu dekat dengannya, ini namanya Maqom Muroqobah. Dia menyadari betapa dekatnya Allah dengan dia sehingga tidak berani melakukan sesuatu karena merasa diawasi oleh Allah.
          Maqom Muroqobah ini terbagi menjadi dua:
          1. Muroqobah Shiddiqin, mereka ini selalu merasa diawasi oleh Allah dan takut kepada yang mengawasi (Allah) sehingga mereka tidak berani melakukan sesuatu sampai-sampai mereka tidak berani menoleh kanan dan kiri sangking takutnya, mereka selalu menunduk. Terkadang mereka tidak tahu bahwasannya disekitar mereka ada manusia karena mereka terlalu fana’ (tidak sadarkan diri) sedang sibuk dengan Allah. Jika mereka ingin berbicara dengan manusia itu harus dipaksa, jika tidak dipaksa mereka tidak bisa berbicara dengan manusia karena sangking sibuknya dengan Allah.
          2. Muroqobah Ashabul Yamin, mereka yakin bahwasannya Allah mengawasi dzohir dan bathin mereka tapi tidak sampai fana’, mereka ini bukan karena rasa takut yang kuat tapi karena rasa malu yang besar kepada Allah.
          Kedua, ‘Ainul Bashiroh (Mata hati). Ini adalah cahaya ilmu. Ulama’ dengan cahaya ilmunya melihat bahwa dirinya tidak ada karena malihat wujudnya Allah. Tentu yang dimaksud adalah ulama’ yang mengamalkan ilmunya, bukan ulama’ yang jahat. Ulama’ yang tidak mengamalkan ilmunya tidak memiliki cahaya ilmu.
          Ketiga, Haqqul Bashiroh (Hakikat mata hati) adalah Nurul Haq (Cahaya ilahi). Ahli hakikat dengan cahaya Allah menyaksikan adanya Alah dan tidak melihat apapun disamping Allah, ia hanya melihat Allah, tidak melihat dirinya ada atau tidak ada, karena yang ia lihat hanya Allah.
          “Tidak melihat selain Allah” artinya kurang memperhatikan alam sekitarnya dan dirinya. Mereka tidak melihat dirinya dan alam sekitarnya, karena ala mini tidak berdiri sendiri. Semuanya butuh kepada Allah, semuanya adalah makhluk yang lemah, lalu mereka kembali kepada Allah. Akhirnya, mereka malas dan lesu melihat alam dan dirinya, karena semuanya tidak berguna. Makanya, mereka kurang perhatian terhadap alam sekitarnya dan kepada dirinya. Akhirnya segala perhatiannya hanya kepada Allah. (Santri Darul Ihya').




Wallahu a'lam bi Asshawab.
Mudah-mudahan bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages