HABIB ABDULLAH BIN ALI AL HADDAD MAULA BANGIL

HABIB ABDULLAH BIN ALI AL HADDAD MAULA BANGIL

Share This
Jam'iyyah Aswaja 


“Berperawakan tinggi kurus, berkulit putih bersih, dengan dua mata bagai mata singa, dan paras muka pucat berkilau cahaya dari bekas-bekas nusuk, ibadah dan tahajjud, jenggot dan godeknya tebal, bergaya Alawiyin yang sempurna, berpakaian putih bersih, tampak siwak bersamanya, dan tasbih tidak berpisah dari tangannya selalu berzikir, dalam gaya hidup orang-orang yang sangat gigih beribadah, dan para guru yang bertakwa dan kezuhudan para Abrar (orang-orang baik) yang patuh, dan kewara’an orang-orang suci yang menyembah Tuhannya.”
Itulah kesan yang diungkapkan oleh sejarawan Abdullah Assegaf dalam kitab Tarikkhus Syuara’ Alhadramiyyin. Jilid 4 hal 168-169, mensifati seorang wali Allah yang tinggal di kota Bangil. Kesan itu ia dapatkan ketika ia berkunjung ke rumah sang wali pada tahun 1291 Hijriyah dua tahun sebelum wali itu meninggal.

Wali besar itu adalah keturunan ke enam dari ShohiburRatib Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad. Beliau bernama sama dengan leluhurnya itu. Beliau adalah Habib Abdullah bin Ali bin Hasan bin Husain bin Ahmad bin Hasan bin Shohibur Ratib Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad.

Jauh sebelum ia dilahirkan, Shohibur Ratib Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad telah mengisyaratkan keutamaan keturunannya itu. Shohibur Ratib Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad mempunyai qashidah terkenal yang disebut dengan Qashidah ta’iyah.

"Kelak qasidah ini akan disempurnakan oleh salah satu keturunanku, dengan satu bait," ucap Shohibur Ratib Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad.

Qashidah yang pada awal-nya berbunyi "Bu'itstu lijiranil 'aqiqi tahiyyati, wa awda'tuha rihash shaba hina habbati" itu berjumlah 249 bait, jumlah angka yang terkesan tak sempurna.

Kemudian di masa hidupnya Habib Abdullah Alhaddad, Bangil, beliau menggenapkan qashidah itu menjadi 250 dengan satu bait penutup, "Wa alin wa ashhabin wa man kana tabi'an, liminhajhim fi kulli haththin wa rihlati".

Hal ini menunjukkan bahwa keutamaan Habib Abdullah bin Ali Al- Haddad, jauh hari sebelumnya, telah diketahui oleh sang datuk, Al-Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad.

Tekun Mencari Ilmu

Dilahirkan pada tanggal 2 Shafar al-Khair 1261 H/12 Pebruari 1840 M di desa Hawi, Tarim, Hadhramaut. Habib Abdullah bin Ali al-Haddad (Habib Sangeng) lahir dalam keluarga yang kuat berpegang teguh dengan agama, keluarga ahlul bait dan kewalian semerbak mewangi. Sejak kecil beliau dididik dan diasuh sendiri oleh ayahanda beliau sehingga dalam usia kecil tersebut beliau telah hafal al-Quran.

la belajar beberapa cabang ilmu agama dari para ulama besar di masa itu, seperti Habib Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur (penyusun Bughyah al-Musytarsyidin) dan Habib Umar bin Hasan Al-Haddad di Ghurfah, Habib Idrus bin Umar Al-Habsyi di Seiwun, Habib Muhsin bin Alwi Assegaf dan Habib Muhammad bin Ibrahim Bilfaqih di Tarim Dari guru-gurunya itu ia mempelajari ilmu tafsir, hadits, fiqih, hadits, dan cabang-cabang ilmu lainnya, la juga banyak memperoleh ijazah dan pengakuan dari tokoh-tokoh ulama serta ahli sufi di zamannya sebagai bukti penguasaannya dalam ilmu syari'at dan hakikat.

Tahun 1281 H/1860 M ia meninggalkan kampung halamannya menuju kota Du'an untuk semakin memperdalam pengetahuannya. Untuk tujuan itu ia mendatangi sejumlah ulama. Di samping itu ia juga menziarahi makam-makam ulama dan shalihin, seperti Syaikh Sa'id bin Isa Al-Amudi.

Dari Do'an, Habib Abdullah melanjutkan perjalanannya ke kota Qaidun dan belajar kepada Habib Thahir bin Umar Al-Haddad dan Syaikh Muhammad bin Abdullah Basawdan. Di hadapan mereka ia membaca kitab Minhaj ath-Thalibin, karya Imam Nawawi, dan mendapatkan ijazah beberapa cabang ilmu, seperti ilmu manthiq, aqidah, dan ushul.

Pada tahun 1291 H/1872 M, ketika berumur 30 tahun, Habib Abdullah bin Ali Alhaddad menikah dengan Syarifah Aisyah binti Hamid bin Alwi Al-Hamid, di Tarim. Dari perkawinannya itu ia dikaruniai lima anak: Alwiyah, Nur, Fatimah, Muznah, dan Hasan.

Meski telah banyak belajar ke sana-sini, bahkan juga telah menikah, semangat belajarnya tetap besar. Tahun 1294 H/1873 M ia pergi ke kota Guwairah dan bertemu Habib Ahmad bin Muhammad Al-Muhdhar (ayahanda Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhar, Bondowoso). la mempelajari sejumlah cabang ilmu pada derajat yang tinggi dan mendapat ijazah dari gurunya itu.

Pada salah satu muqaddimah ijazah tertulisnya, sang guru menuliskan, "Aku memberikan ijazah kepada keturunan Al-Qutb Al-Ghauts Al-Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad, seorang putra yang sungguh-sungguh ahli ibadah, tampak di wajahnya cahaya yang bersinar, (yaitu) cahaya ulama salaf, (la seorang) dai yang akan menggantikan kedudukan salafnya. Aku menganggapnya sebagai anakku."



Di Tanah Suci
Pada tahun 1295 H/1874 M ia berangkat ke Tanah Suci untuk mengerjakan rukun Islam yang kelima, yaitu ibadah haji, ke Baitullah, sekaligus berziarah ke makam Rasulullah SAW.

Selama di Makkah ia tinggal di rumah Mufti kota Makkah, Habib Muhammad bin Husein Al-Habsyi (ayahanda Shahib Simthud Durar, Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi), sekaligus menyempatkan diri untuk mendalami ilmu-ilmu agama kepada Habib Muhammad, la juga mendapatkan ijazah dari Sayyid Ahmad Zaini Dahlan.

Usai tinggal beberapa lama di kota Makkah, ia menuju kota Madinah dan tinggal di sana selama empat bulan.

Di Madinah ia menemui Syaikh Muhammad Abdul Mu'thi bin Muhammad AI-'Azab, seorang faqih dan dikenal pula sebagai pakar sastra Arab, pengarang kitab Maulid AI-'Azab.

Habib Abdullah meminta ijazah kepadanya, tetapi Syaikh AI-'Azab tidak mau memberikan sebelum ia diberi ijazah terlebih dulu oleh Habib Abdullah. Maka Habib Abdullah kemudian memberikannya ijazah berupa wirid-wirid susunan Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad, lalu Syaikh Muhammad AI-'Azab pun memberikan ijazah kepadanya.

Begitulah, hari demi hari kemuliaan Habib Abdullah semakin terlihat. Itu semakin tampak ketika ia ditemui Sayyid Umar Syatha, mufti Haramain. Diceritakan, Sayyid Umar mimpi berjumpa Rasulullah SAW dan diperintahkan agar berziarah kepada Habib Abdullah bin Ali Al-Haddad.

"Dia adalah cucuku yang sebenarnya," kata Nabi kepada Sayyid Umar Syatha.

Setelah berjumpa dengan Habib Abdullah, Sayyid Umar Syato menciumi lutut dan kaki beliau serta meminta maaf karena tidak mengetahui kedudukannya kalau tidak diberitahu oleh Nabi

Rihlah Dakwah

Pada tahun 1297 H/1879 M Habib Abdullah berdakwah ke tanah Melayu. Mula-mula ke Singapura, kemudian menuju Johor. Di Johor ia memperoleh sahabat, yaitu Syed Salim bin Thaha Al- Habsyi dan Sultan Abu Bakar bin Ibrahim (sultan Johor saat itu).

Pada waktu peresmian istana Sultan Johor ini, datanglah Sultan Ahmad dari negeri Pahang yang mencari-cari diriya. Setelah bertemu, sang sultan memintanya untuk menjadi mufti di negerinya. Namun permintaan itu ditolak olehnya dengan baik dan bersahabat.

Habib Abdullah tinggal di Johor selama empat tahun dan menikah dengan seorang syarifah dari keluarga Bin Syahab. Namun istrinya wafat tak lama setelah mereka menikah.

Setelah empat tahun di Johor, ia meneruskan perjalanan dakwahnya ke Pulau Jawa. Mula-mula ia tiba di Betawi, yang ketika itu masih dalam pemerintahan Hindia Belanda. Tak lama di Betawi ia lalu meneruskan ke Bogor, Solo, dan Surabaya, tetapi semua kota di Indonesia yang disinggahi dan dilaluinya tak dapat menarik hatinya untuk menetap di tempat tersebut, walaupun penduduk setempat meminta kesediaannya agar ber¬kenan tinggal di tengah-tengah mereka.

Syawwal 1301 H/1903 M ia mulai menetap di kota Bangil, Jawa Timur. Di sinilah akhirnya ia memutuskan untuk tinggal dan berdakwah.

Tanggal 27 Jumadal Ula 1302 H/ 1903 M ia menikah lagi dengan Syarifah Maryam binti Ali Alaydrus, seorang wanita yang dikenal keshalihahannya. Dari hasil pernikahannya dengan Syarifah Maryam Alaydrus ini beliau dikarunia enam buah hati. Mereka adalah Muhammad, Hamid, Ali Al-akbar, Umar, Ali Al-Asyghar dan Fatimah.

Di rumahnya, ia membuka majlis ta'lim di Masjid Kal ianyar. Di antara muridnya, ada yang kemudian menjadi ulama di kemudian hari, seperti Kiai Zayadi, Kiai Husain, Kiai Musthafa, Kiai Asyiq, serta Kiai Muhammad Thahir dari Bangku, Singosari. Disebutkan, Kiai Cholil Bangkalan dan Kiai Hasyim Asy'ari Jombang juga termasiuk yang beristifadah (mengambil faidahi ilmu) kepada Habib Abdullah, di antaramya dengan mengambil ijazah darinya. Sementara, dari kalangan habaib sendiri, yang sempat beristifadah kepadanya, di antaranya Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhar, Habib Alwi bin Muhammad Al-Haddad, Habib Ali bin Abdiurrahman Al-Habsyi, Habib Ahmad bin Muhsin Al-Haddar.



Pekerjaan Beliau
Pekerjaan beliau adalah berdagang minyak wangi, ma’jun dll. Beliau tidak menjual kecuali dengan kontan. Beliau mengatakan, “Saya tidak ingin menyibukkan pikiran saya dengan memikirkan hutang para pembeli”. Dan kebiasaannya adalah beliau tidak mau menerima shadaqoh atau hadiah dari seseorang kecuali bila orang itu mengambil sesuatu yang beliau jual.

Beliau sangat memperhatikan fakir miskin, sangat pemurah dan selalu menjalin hubungan dengan baik dengan para ulama’.



Keluhuran Budi Belau

Pada suatu hari datanglah seorang raja dari bugis berziarah dan membawa hadiah untuk beliau berupa satu peti emas yang berisikan kayu gaharu dan sejumlah besar uang. Setelah menerima hadiah itu, beliau bertanya kepada raja tersebut,“Apakah di negerimu ada orang yang berhak menerima sadaqah?”.

Raja tersebut menjawab , “Ya, ada”. Kemudian Habib Abdullah mengembalikan hadiah tersebut dan memintanya untuk membagi-bagikan hadiah tersebut kepada fakir miskin yang ada di negerinya, seraya beliau mengatakan, “Alhamdulillah kami dalam keadaan mampu,” dan menunjukkan kepada raja tersebut kantong yang penuh dengan uang emas. Maka raja tersebut ketakutan dan meminta maaf serta melaksanakan apa yang diminta oleh Habib Abdullah.

Habib Abdullah sangat cinta kepada fakir miskin sehingga tidak kurang dari 70 rumah menjadi tanggungan beliau setiap bulannya.

Habib Abdullah adalah seorang ulama’ yang tidak pernah segan untuk menyatakan kebenaran kepada siapapun. Habib Abdullah adalah imam di zamannya, yang selalu mengajak umatnya ke jalan Allah dengan dasar islam yang benar. Beliau seorang yang alim dhohir dan batin, syari’at dan hakikat, pewaris ilmu Nabi yang diamalkannya sesuai dengan amalan Nabi.



Mujahadah Beliau

Di masa mudanya, beliau tidak pernah meninggalkan ibadahnya, baik yang wajib maupun yang sunnah. Dalam keadaan bagaimanapun beliau konsisten menjalankan ibadahnya seperti sholat, puasa dll. Pada suatu saat badan beliau menjadi lemah dan kesehatannya terganggu, melihat keadaan seperti ini, sang ibu dengan sangat kasihan dan tidak tega berkata, “Hai anakku, bila engkau ingin kebaikan dan keridloanku, taatilah perintahku”. Setelah itu beliau menunaikan sholat fardlu dan rawatib saja. Selama hidupnya beliau hanya makan sebanyak ¼ atau seratus lima puluh gram dalam sehari.

Waktu maghrib sampai isya’ merupakan waktu yang diutamakan beliau untuk membaca Al Qur’an dengan hafalan sembari didampingi oleh putranya Muhammad. Setelah sholat isya’ berjamaah beliau istirahat selama 2 jam, setelah itu beliau manfaatkan untuk muthola’ah sampai jam 12 malam, kemudian beliau beristirahat dan bangun jam 2 malam dilanjutkan dengan mengerjakan sholat dan berkeliling kota Bangil hingga pukul 3 pagi. Sesampainya di rumah, beliau lanjutkan dengan sholat tahajjud hingga menjelang fajar. Kemudian sholat subuh berjamaah bersama keluarganya dan membaca wirid sampai menjelang waktu sholat dhuha. Lalu mengerjakan sholat dhuha sebanyak 8 rakaat. Begitulah amalan beliau yang dikerjakannya setiap malam.



Tugas Tuhan

Pada suatu malam ketika keliling kota Bangil, beliau bertemu dengan seorang penjaga malam. Penjaga malam itu bingung dan bertanya, “Kenapa malam-malam begini Habib berkeliling di jalan?”, Habib Abdullah balik bertanya, “Mengapa kalian berada di pos penjagaan ini?”. Petugas itu menjawab, “Kami ada tugas dari bapak camat,” maka dijawab oleh Habib Abdullah, “Saya mendapat tugas dari penguasa alam semesta ini (Ahkamul Hakimin).”



Habib Ali bin Abdullah Al Haddad, sang putrera bercerita, pada suatu malam di rumah seorang miskin tidak ada uang dan makanan. Anak-anaknya menangis kelaparan. Tidak selang beberapa lama, tiba-tiba ada orang mengetuk pintu rumahnya. Dibukakanlah pintu untuk tamu tersebut. Ternyata tamu itu adalah Habib Abdullah bin Ali Al Haddad dan memberinya uang untuk membeli makanan.



Kekeramatan Beliau

Dalam rahah (majlis ta’lim) di masjid kalianyar dengan membacakan kitab-kitab karangan Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad, rahah ini dihadiri tidak kurang dari 60 orang. Menjelang maghrib, kopi yang beliau siapkan dari rumah yang ditempatkan di ceret yang agak kecil yang hanya cukup untuk jamaah yang hadir, mulai beliau hidangkan. Tiba-tiba ada kunjungan Habib Muhammad bin Ahmad Al Muhdlor dengan rombongannya sekitar 60 orang. Maka, Habib Abdullah menyuruh Syekh Mubarok Jabli menuangkan kopi dan menghidangkan nya kepada para tamunya. Pada saat menuangkan kopi Syekh Mubarok Jabli yakin bahwa kopinya telah habis(dalam hatinya berkata, “Apa yang harus saya tuangkan karena sudah tidak ada kopi setetespun dalam ceret ini”).

Kemudian Habib Abdullah mengulangi perintahnya,“Segera engkau tuangkan kopi.!” Terpaksa Syekh Mubarok Jabli memegang kaki putranya, Muhammad dan berbisik,“Katakan ceretnya sudah kosong!”

Habib Muhammad menjawab, “Turutilah perintah Al Walid!.” Kemudian Syekh Mubarok Jabli menuangkan ceret yang diyakini kosong. Ternyata atas izin Allah dapat memenuhi cangkir yang ada, bahkan lebih.

Dalam suatu kisah yang lain diceritakan, pada suatu hari Residen Pasuruan datang ke Bangil. Setelah sampai di stasiun dan turun dari kereta api, semua orang member hormat dan berdiri, kebetulan saat itu Habib Abdullah Al Haddad berada di stasiun untuk mengantar pamannya Habib Ahmad bin Hasan Al Haddad yang hendak pulang ke Surabaya. Habib Abdullah tetap duduk dan tidak berdiri. Residen Pasuruan tersebut lewat persis di depan Habib Abdullah Al Haddad. Selang beberapa waktu kemudian seorang polisi datang dan memerintahkan beliau datang ke kantor Residen. Beliaupun berangkat dan sampailah di kantor Residen, beliau turun dari dokar, selanjutnya menunggu di ruang depan. Kemudian datang seorang pegawai Residen dalam keadaan ketakutan, seraya berkata, “Sebaiknya Habib kembali saja, sebab Residen dan semua stafnya lari ketakutan setelah melihat Habib datang dengan didampingi dua ekor harimau yang membuka mulutnya hendak menerkam mereka.” Kemudian Habib Abdullah berkata, “Jangan memanggil saya kalau tidak ada keperluan!”. Setelah kejadian itu, Residen meletakkan jabatannya dan tidak keluar rumah sampai akhir hayatnya.

Pesan-Pesan
Ada satu hal yang selalu beliau tekankan kepada murid-muridnya, juga dalam tulisan di beberapa kitabnya. Beliau selalu mengajarkan untuk berprilaku tawaduk ( rendah hati ), tidak takabur, sombong dan riya. Sebab, kata habib Abdullah, semua itu adalah sifat-sifat setan.



Karya Beliau

Selain mengajar dan berdakwah, Habib Abdullah juga seorang ulama sastrawan. Kumpulan syairnya dibukukan dalam bentuk diwan (kumpulan syair) yang diberi nama Al-Qalaid al-Lisan liAhl al-islam wa al-lman. la juga menulis sejumlah kitab, di antaranya Sullam ath-Thalib li A'la al-Maratib syarah Ratib al- Haddad, Hujjah al-Mu'minin fi Tawassul bisayyidil Mursalin, Maulidil Haddad, — dalam bentuk nazham (prosa) tentang kelahiran Rasulullah SAW, Nadhom Safintunnajah.

Sampai akhirnya, pada hari Jum'at sore, tanggal 15 Shafar 1331 H di kota Bangil, ia dipanggil menghadap Sang Khaliq. la dimakamkan dekat mushallanya yang terletak di daerah Sangeng Kramat, Bangil. Karena tinggalnya di kampung Sangeng, Bangil, inilah beliau dikenal dengan Habib Sangeng dan oleh banyak ulama disebut sebagai Muala Bangil (Sunan Bangil). Setiap tanggal 27 Shafar diadakan acara haul di makamnya di Sangeng Kramat, Bangil. (Dyt)



Sumber:
-Tarikhussyuara’ Alhadramiyyin Juz 4, Abdullah Assegaf

-Mengenal lebih Dekat Wali Allah Al-Habib Abdullah bin Ali Alhaddad

-Sumber lain

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages