BAHAYA KETAMAKAN BERUPA MENGHARAP KEPADA MAKHLUQ

BAHAYA KETAMAKAN BERUPA MENGHARAP KEPADA MAKHLUQ

Share This

 



Ulasan Pengajian Al Hikam

Hari/ Tanggal : Jum'at, tanggal 27 Rabi'ul Awal 1442 H - 13 November 2020 M
Oleh  : Al Habib Abdul Qodir bin Ahmad bin Husein Assegaf


          Diantara bahaya ketamakan adalah dapat merusak agama, ragu terhadap takdir, dan dapat membinasakan seseorang. Dari begitu besarnya bahaya ketamakan Al-Imam Ibnu Athaillah dalam kitab At-tanwir berkata: “kalau seandainya orang yang tamak itu untuk menghilangkan ketamakannya dia mandi dengan 7 lautan pun, tidak akan bisa besih dari pada ketamakan (Najis nya ini mugholadoh, kalau dijilat anjing saja di suruh basuh 7 kali dengan air dicampur dengan tanah, ketamakan ini jangan kan 7 kali cuci air, bahkan di mandikan dengan 7 lautan air gak bisa hilang) Yang bisa menghilangkan ketamakan hanya rasa putus asa dari pada manusia tidak mengharap sekali terhadap manusia, itu yang bisa menghilangkan ketamakan”.

          Di ceritakan bahwasannya Sayyidina Ali bin Abi Thalib radiyallahu ta’ala anhu, datang ke kota Basroh. Beliau masuk ke masjid jami’ kota tersebut,  di dalam masjid jami’ Basroh, beliau lihat disitu ada qussosh (istilah yang di peruntukkan orang-orang yang memberanikan diri berceramah dan membuka pengajian, padahal tidak ada dasar ilmu dan tidak memiliki sanad ilmu.  Artinya qussosh dalam bahasa Indonesia adalah tukang cerita bukan penceramah.) ketika beliau masuk ke dalam masjid jami’ basroh, di situ terdapat banyak gerombolan orang-orang pengajian yang di isi qussosh. Ketika itu Sayyidina Ali membubarkan pengajian-pengajian yang ada di masjid jami’ basroh tadi, sampai akhirnya ada satu kelompok orang pengajian, yang jadi penceramah nya adalah Imam Hasan Al-Basri radiyallahu anhu, ketika sampai pada Imam Hasan Al-Basri Sayyidina Ali tidak langsung membubarkan, karena terlihat Imam Hasan Al-Basri ini berbeda, terlihat pada wajahnya itu wajah orang soleh dan terlihat pada wajahnya bekas bekas ibadah.

          Maka Sayyidina Ali berkata kepada Imam Hasan al-Basri: “Hai anak muda, kalau kau bisa menjawab pertanyaan ku ini, maka kau kubiarkan tetap mengajar di masjid ini. Bila tidak, maka kau juga akan aku usir seperti mereka,” akhirnya Imam Hasan AL-Basri menjawab: “Silahkan engkau mau tanya apa,” kata Imam Hasan AL-Basri. Pertanyaanya: “Dengan apa tegaknya agama seseorang?”, Imam Hasan AL-Basri menjawab: “Sifat wara’,” pertanyaan yang kedua: “Hal apa yang dapat merusak agama seseorang?” kemudian beliau menjawab: “Sifat tamak (kerakusan),” karena jawabannya benar keduanya maka Imam Hasan AL-Basri diizinkan tetap mengajar di masjid jami’ basroh. Duduk engkau tetap membuat pengajian, orang seperti engkau ini yang boleh berceramah di depan orang banyak, kata Sayyidina Ali.

          Dari sumber cerita ini, kita bisa membuat kesimpulan bahwa penceramah / narasumber itu ada dua:

1.    Ada orang yang ceramah karena Allah Ta’ala, memang benar-benar alim / da’i yang mengajak ke jalan Allah

2.    Ada juga orang yang pura-pura alim, bukan orang yang berilmu, dia itu qussosh atau belum pernah belajar agama, aslinya dia bukan ulama’, tapi dulunya pinter ngomong atau dulunya penyiar radio kemudian pindah profesi menjadi penceramah yang tidak ada kapasitas dan dan dasar ilmu agama.

         Maka seharusnya masyarakat bila ingin mengundang penceramah /pengajar itu cari ulama’ atau orang yang pernah belajar ilmu agama, sanad keilmuannya jelas, guru-gurunya jelas (orang-orang alim, ulama’ besar,sudah di ketahui bahwa guranya benar-benar ulama’). Jangan cari penceramah yang lucu, yang terkenal, yang disukai dan dipilih oleh masyarakat.

           Imam Ibnu Athaillah berkata: “Aku pernah mendengar guru kami (Abu Abbas Al-Mursi radiyallahu anhu) mengatakan,” Dulu di waktu aku permulaan bersuluk, tatkala aku pergi ke orang yang aku kenal, lalu kau membeli darinya barang seharga separuh dirham maka terlintas di hatiku kata, “ barang kali ia nanti tidak menerima uangku”. Tiba-tiba ada suara tanpa rupa yang berbunyi, “ keselamatan agama itu dengan cara meninggalkan tamak (harapan) pada makhluq.”

          Hal yang dialami oleh Abu Abbas Al-Mursi ini sering terjadi pada kalangan para ustadz dan kiai. Kalau Abu Abbas Al-Mursi hanya terlintas dalam hati dan tidak sampai terjadi. Namun pada zaman sekarang kerakusan ini telah merajalela. Bahkan, ada seorang ustadz yang membawa beberapa muridnya kesebuah warung tanpa membaw uang. Muridnya merasa ketakutan dan mengungkapkan kepada ustadnya bahwa ia tidak membawa uang. “kalau bersamaku tidak pakai uang.” Jawab ustadz itu enteng.

          Selesai makan mereka pulang tanpa bayar dan berterima kasih kepada pemilik warung hanya dengan kata-kata “Ayo pulang, ya.”

Orang awam menganggap hal seperti ini adalah maqom (kedudukan) dan kekeramatan di sisi Allah. Padahal ini merupakan sifat buruk yang merusak agama. Itu adalah akhlaq yang jelek. (MHS)



Wallahu a'lam bi Asshawab.

Mudah-mudahan bermanfaat.  https://t.me/darulihya

                                                    https://wa.me/c/6283141552774

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages