Ulasan Pengajian Al Hikam
Diantara bahaya ketamakan adalah
dapat merusak agama, ragu terhadap takdir, dan dapat membinasakan seseorang.
Dari begitu besarnya bahaya ketamakan Al-Imam Ibnu Athaillah dalam kitab
At-tanwir berkata: “kalau seandainya orang yang tamak itu untuk
menghilangkan ketamakannya dia mandi dengan 7 lautan pun, tidak akan bisa besih
dari pada ketamakan (Najis nya ini mugholadoh, kalau dijilat anjing saja di
suruh basuh 7 kali dengan air dicampur dengan tanah, ketamakan ini jangan kan 7
kali cuci air, bahkan di mandikan dengan 7 lautan air gak bisa hilang) Yang
bisa menghilangkan ketamakan hanya rasa putus asa dari pada manusia tidak
mengharap sekali terhadap manusia, itu yang bisa menghilangkan ketamakan”.
Di ceritakan bahwasannya Sayyidina Ali
bin Abi Thalib radiyallahu ta’ala anhu, datang ke kota Basroh. Beliau masuk ke masjid
jami’ kota tersebut, di dalam masjid
jami’ Basroh, beliau lihat disitu ada qussosh (istilah yang di
peruntukkan orang-orang yang memberanikan diri berceramah dan membuka
pengajian, padahal tidak ada dasar ilmu dan tidak memiliki sanad ilmu. Artinya qussosh dalam bahasa Indonesia adalah
tukang cerita bukan penceramah.) ketika beliau masuk ke dalam masjid jami’
basroh, di situ terdapat banyak gerombolan orang-orang pengajian yang di isi
qussosh. Ketika itu Sayyidina Ali membubarkan pengajian-pengajian yang ada di
masjid jami’ basroh tadi, sampai akhirnya ada satu kelompok orang pengajian,
yang jadi penceramah nya adalah Imam Hasan Al-Basri radiyallahu anhu, ketika
sampai pada Imam Hasan Al-Basri Sayyidina Ali tidak langsung membubarkan,
karena terlihat Imam Hasan Al-Basri ini berbeda, terlihat pada wajahnya itu
wajah orang soleh dan terlihat pada wajahnya bekas bekas ibadah.
Maka Sayyidina Ali berkata kepada Imam
Hasan al-Basri: “Hai anak muda, kalau kau bisa menjawab pertanyaan ku ini,
maka kau kubiarkan tetap mengajar di masjid ini. Bila tidak, maka kau juga akan
aku usir seperti mereka,” akhirnya Imam Hasan AL-Basri menjawab: “Silahkan
engkau mau tanya apa,” kata Imam Hasan AL-Basri. Pertanyaanya: “Dengan
apa tegaknya agama seseorang?”, Imam Hasan AL-Basri menjawab: “Sifat
wara’,” pertanyaan yang kedua: “Hal apa yang dapat merusak agama
seseorang?” kemudian beliau menjawab: “Sifat tamak (kerakusan),” karena
jawabannya benar keduanya maka Imam Hasan AL-Basri diizinkan tetap mengajar di
masjid jami’ basroh. Duduk engkau tetap membuat pengajian, orang seperti engkau
ini yang boleh berceramah di depan orang banyak, kata Sayyidina Ali.
Dari sumber cerita ini, kita bisa
membuat kesimpulan bahwa penceramah / narasumber itu ada dua:
1.
Ada orang yang ceramah karena Allah Ta’ala, memang
benar-benar alim / da’i yang mengajak ke jalan Allah
2.
Ada juga orang yang pura-pura alim, bukan orang
yang berilmu, dia itu qussosh atau belum pernah belajar agama, aslinya dia
bukan ulama’, tapi dulunya pinter ngomong atau dulunya penyiar radio kemudian
pindah profesi menjadi penceramah yang tidak ada kapasitas dan dan dasar ilmu
agama.
Maka seharusnya masyarakat bila ingin
mengundang penceramah /pengajar itu cari ulama’ atau orang yang pernah belajar
ilmu agama, sanad keilmuannya jelas, guru-gurunya jelas (orang-orang alim,
ulama’ besar,sudah di ketahui bahwa guranya benar-benar ulama’). Jangan cari
penceramah yang lucu, yang terkenal, yang disukai dan dipilih oleh masyarakat.
Imam Ibnu Athaillah berkata: “Aku pernah
mendengar guru kami (Abu Abbas Al-Mursi radiyallahu anhu) mengatakan,” Dulu di
waktu aku permulaan bersuluk, tatkala aku pergi ke orang yang aku kenal, lalu
kau membeli darinya barang seharga separuh dirham maka terlintas di hatiku
kata, “ barang kali ia nanti tidak menerima uangku”. Tiba-tiba ada suara tanpa
rupa yang berbunyi, “ keselamatan agama itu dengan cara meninggalkan tamak (harapan)
pada makhluq.”
Hal yang dialami oleh Abu Abbas
Al-Mursi ini sering terjadi pada kalangan para ustadz dan kiai. Kalau Abu Abbas
Al-Mursi hanya terlintas dalam hati dan tidak sampai terjadi. Namun pada zaman
sekarang kerakusan ini telah merajalela. Bahkan, ada seorang ustadz yang
membawa beberapa muridnya kesebuah warung tanpa membaw uang. Muridnya merasa
ketakutan dan mengungkapkan kepada ustadnya bahwa ia tidak membawa uang. “kalau
bersamaku tidak pakai uang.” Jawab ustadz itu enteng.
Selesai makan mereka pulang tanpa
bayar dan berterima kasih kepada pemilik warung hanya dengan kata-kata “Ayo pulang,
ya.”
Orang awam
menganggap hal seperti ini adalah maqom (kedudukan) dan kekeramatan di sisi
Allah. Padahal ini merupakan sifat buruk yang merusak agama. Itu adalah akhlaq
yang jelek. (MHS)
Wallahu a'lam bi Asshawab.
Mudah-mudahan bermanfaat. https://t.me/darulihya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar