TIDAK ADA ISYARAT KARENA LENYAP DALAM WUJUD ALLAH

TIDAK ADA ISYARAT KARENA LENYAP DALAM WUJUD ALLAH

Share This

 



Ulasan Pengajian Al-Hikam

Hari/ Tanggal : Jum'at, tanggal 13 Dzulhijjah 1442 H - 23 Juli 2021 M
Oleh  : Al Habib Abdul Qodir bin Ahmad bin Husein Assegaf


ماالعارف من إذا أشار وجد الحق أقرب إليه من إشارته بل العارف من لا إشارة له لغنائه في وجوده وانطوائه في شهوده

Bukannya orang yang Arif itu ialah orang yang bila ia menunjuk sesuatu ia merasa bahwa Allah lebih dekat kepadanya dari isyaratnya, tetapi orang arif yang sebenarnya ialah orang yang tidak ada baginya isyarat karena merasa lenyap dirinya dalam Allah dan merasa diliputi oleh pandangan kepada Allah.

           Siapa yang masih punya pandangan kepada selain Allah, maka belum sempurna sebagai seorang arif. Tetapi seorang arif  yang sesungguhnya ialah yang merasakan kepalsuan segala sesuatu selain Allah sehingga pandangannya hanya kepada Allah, tidak kepada yang lain. Ia merasa segala sesuatu selain Allah tidak ada. Ia menyaksikan Allah dengan penyaksian yang melenyapkan lainnya, bahkan juga melenyapkan dirinya sendiri.

          Atau dengan ungkapan lain, orang arif itu ialah orang yang berhubungan dengan dunia dan sebab-sebab dunia, tetapi tidak melihat dirinya kecuali bersama Allah. Sebab, bukan semua arif, atau umumnya disebut wali dari golongan ahli tajrid (tidak bekarja). Mereka juga ada yang bekerja mencari nafkah dan bekerja untuk mencukupi keluarganya. Bedanya dengan manusia lain, ia berurusan dengan manusia tapi hatinya tetap bersama Allah. Walau dalam pasar, hatinya tetap bermunajat kepada Allah.

          Al-Imam Abu Yazid Al Busthomi adalah seorang sufi yang pertama kali berbicara tentang fana'. Masalah fana' ini adalah masalah yang sensitif, kalau disampaikan kepada orang yang tidak mengerti ilmu tasawwuf pasti hal itu dianggap lelucon.  Fana' itu artinya hilang, (tapi bagaimana dikatakan fana' sedangkan orangnya ada, wujudnya ada, wali itu fana' sedangkan orangnya ada wujudnya ada ya sama seperti manusia yang lain kenapa dikatakan fana',)  hal ini kalau berbicara kepada orang yang tidak mengerti. Maka ilmu-ilmu seperti ini tidak boleh disampaikan secara bebas, karena ini seperti pelajaran anak SMA diceritakan kepada anak TK, maka jelas tidak cocok / tidak setara.

   - Nama asli Imam Abu Yazid Al Busthomi adalah Thoifur bin Isa Al Busthomi, sehingga pengikutnya disebut sebagai Thoifuriyyah.

          Seorang sufi berkata:

عَرْشِيْ وَفَرْشِيْ فِيْ آنٍ وَاحِدٍ

"Arsyku (atapku) dan Farsyku (hamparanku) terjadi dalam satu waktu."

          Artinya, ketika ia bersama manusia di saat itu pula hatinya bersama Allah.

          Pada masa sahabat, hal ini pernah terjadi. Memang, sufi pertama adalah mereka, para sahabat Nabi. Beberapa sahabat pilihan mencapai maqom ma'rifat seperti Sayyidina Abu Bakar Asshiddiq, ia mencapai derajat Asshiddiqiyyah Al-Kubro, sebuah derajat di bawah kenabian. Sebuah perkataan beliau menunjukan bahwa ia telah ma'rifat kepada Allah:

ُمَارَأَيْتُ شَيْئًا إِلَّا رَأَيْتُ اللهَ مَعَهُ وَقَبَلَهُ وَبَعْدَه

"Aku tidak melihat sesuatu, kecuali aku melihat Allah bersamanya, sebelumnya dan sesudahnya."

          Ada cerita dari Habib Ali bin Muhammad Al- Habsyi. Beliau berkata: "Pernah guru saya Al-Habib Abu Bakar bin Abdullah Al-Atthos datang ke rumah saya. Saya mengantarkannya pulang naik kendaraan dokar. Tiba-tiba ia menjerit dan membawakan dua bait qosidah Habib Abdullah Al-Haddad:

اللهَ لَاتَشْهَدْ سِوَاهُ وَلَاتَرَى  #  إِلَّاهُ فِيْ مُلْكٍ وَفِيْ مَلَكُوْتِ

يَالَيْتَنِيْ قَدْ غِبْتُ عَنْ هَذَا الوَرَى  #     وَدُعِيْتُ بِالمُسْتُغْرِقِ المَبْهُوْتِ

Allah, jangan menyaksikan yang selain-Nya dan jangan melihat kecuali Dia di alam dunia atau alam akhirat.

Seandainya aku bisa lenyap dari manusia sehingga aku disebut sebagai orang yang tenggelam dan tercengang dengan Allah.

          Tiba-tiba kudanya ambruk, beliau pingsan. Saya dan beberapa orang gemetar. Kemudian beliau sadar dan melanjutkan perjalanannya.

          Yang kita ambil pelajaran dari kisah ini, Habib Abu Bakar bin Abdullah Al-Atthos di tengah perjalanan ingat kepada Allah dan ingin putus dari manusia dan hanya memandang Allah. Semua wali berharap begitu.

          Kita pun para dhuafa juga punya keinginan seperti itu. Di hati selalu ada harapan, kapan kita putus dari kemaksiatan, kapan kita putus dari hal-hal yang tidak penting, kapan bisa lenyap dari manusia dan hanya menyaksikan Allah.

          Apakah bisa melakukan itu? Bisa, jika hati kita cinta yang sungguh-sungguh kepada Allah, dan hati kita bersih dari penyakit hati. (Abd. Mthr)



Wallahu a'lam bi Asshawab.

Mudah-mudahan bermanfaat.  https://t.me/darulihya

                                                          https://wa.me/c/6283141552774

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages