KEUTAMAAN MEMBACA KITAB SAHIH BUKHARI

KEUTAMAAN MEMBACA KITAB SAHIH BUKHARI

Share This


Ulasan Pengajian Tajrid Shohih Bukhori
Hari/ Tanggal : Kamis, tanggal 02 Rajab 1446 H - 02 Januari 2025 M
Oleh  : Al Habib Abdul Qodir bin Abuya Ahmad bin Husein Assegaf



          Kita perlu mengetahui bahwa para salafushalih sering menghidupkan bulan Rajab dengan membaca kitab Sahih Bukhari. Mereka mengambil berkah dari hadis Nabi Muhammad, sebagaimana disebutkan bahwa "Kitab yang paling sahih setelah Kitabullah adalah Sahih Bukhari." Isi kitab ini sangat terpercaya karena hadis-hadisnya diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya, memiliki hafalan yang kuat, dan sangat teliti dalam menjaga keaslian hadis. Perawi-perawi ini adalah orang-orang yang memiliki akhlak yang tinggi dan waro' (menghindari hal-hal yang meragukan), menjauhi kebohongan baik terhadap siapa pun maupun terhadap hewan, serta menjaga kehormatan mereka dari sesuatu yang tidak pantas bagi mereka dan menjaga agar tidak terjatuh dalam dosa (dosa besar dan dosa kecil yang dilakukan terus menerus).

          Oleh karena itu, kita tidak perlu ragu terhadap hadis-hadis dalam Sahih Bukhari, karena setiap perawi di dalamnya adalah orang yang terpercaya dan saleh. Ketika kita membaca hadis-hadis tersebut, seakan-akan Nabi sedang berbicara langsung kepada kita, meskipun kita tidak melihat beliau secara langsung. Maka, hendaknya kita menjaga adab saat dibacakan hadis. Sebagaimana yang diingatkan dalam firman Allah dalam surat Al-Hujurat (49:2):

يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ
"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi dan janganlah kamu berkata kepada beliau dengan suara keras sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, agar tidak terhapus amal-amalmu, sedangkan kamu tidak menyadarinya."

         Tidak diperbolehkan untuk menghentikan bacaan hadis, meskipun yang hadir adalah seorang ustadz, pejabat, atau lainnya, kecuali jika yang hadir adalah seseorang yang memiliki kedudukan tinggi, seperti khalifah Nabi, maka itu dibolehkan. Oleh karena itu, kita harus benar-benar memuliakan hadis Nabi. Sebagai contoh, terdapat kisah indah tentang Imam Malik bin Anas, seorang ulama besar yang terkenal dengan adab luar biasa terhadap hadis Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. Setiap kali Imam Malik hendak mengajarkan hadis, beliau tidak pernah melakukannya dengan sembarangan. Beliau selalu mempersiapkan diri terlebih dahulu dengan mandi, memakai pakaian terbaik, dan memakai wangi-wangian di tubuhnya. Setelah itu, beliau duduk di tempat yang khusus dengan penuh khidmat, memastikan suasana di sekitarnya tenang dan jauh dari kebisingan.

          Imam Bukhari, yang dikenal dengan kecermatannya dalam mengumpulkan hadis-hadis sahih, juga memiliki kisah hidup yang luar biasa. Beliau lahir pada 13 Syawal tahun 194 Hijriah dan wafat pada tahun 256 Hijriah. Meskipun beliau menjadi yatim sejak kecil, semangatnya dalam menuntut ilmu dan memeriksa setiap hadis sangat tinggi. Setelah beliau wafat, tercium aroma wangi misik dari tubuhnya yang bertahan berhari-hari, sebagai tanda kemuliaannya.

          Abdul Wahid bin Adam At-Thawawisi berkata, "Aku bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, dan bersama beliau ada sekelompok sahabat. Nabi berdiri di suatu tempat, dan aku mengucapkan salam kepada beliau. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjawab salamku, lalu aku bertanya, 'Mengapa engkau berdiri di sini, Ya Rasulullah?' Beliau menjawab, 'Aku sedang menunggu Muhammad bin Ismail' (Imam Bukhari). Beberapa hari kemudian, aku mendengar kabar bahwa Imam Bukhari telah wafat."

          Selain itu, ada banyak keutamaan membaca Sahih Bukhari. Syekh Abu Muhammad Abdullah bin Abi Jamrah berkata, "Setiap kali aku bertemu dengan para 'arifin yang memiliki keutamaan, mereka berkata: 'Tidaklah kitab ini (Shahih Bukhari) dibaca dalam kesulitan, kecuali akan datang kemudahan. Tidak pula kitab Bukhari dibawa dalam perjalanan di laut, kecuali kapal itu tidak akan tenggelam.'

          Telah berkata 'Imaduddin Ibn Katsir: "Kitab Shahih Bukhari dapat menghilangkan kesedihan ketika dibaca."

          Imam Adz-Dzahabi juga berkata: "Seandainya ada seseorang yang melakukan perjalanan sejauh 1000 farsakh hanya untuk mendengar pembacaan Kitab Shahih Bukhari, maka perjalanannya tidak akan sia-sia."

          Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi (shahibul maulid), berkata: "Pembacaan Kitab Bukhari mampu menggerakkan tali rahmat Allah."

          Beliau juga menyebutkan dalam Masyru’ Rawi dan dalam biografinya bahwa Syekh Ismail bin Muhammad An-Naisaburi membaca Shahih Bukhari dalam tiga majelis. Beliau memulai dari waktu Magrib hingga fajar, dilanjutkan dari waktu duha hingga Magrib, dan kembali membaca dari Magrib hingga fajar.

          Al-Habib Ahmad bin Hasan Al-Atthas berkata: "Termasuk kebiasaan Al-Habib Ubaidillah bin Muhsin As-Segaf adalah membaca Kitab Shahih Bukhari sepanjang bulan Rajab. Beliau membaca selama dua jam di awal hari dan setengah jam di akhir hari, hingga menyelesaikannya di bulan Rajab."

          Kebiasaan membaca Kitab Shahih Bukhari di bulan Rajab juga dilakukan oleh sekelompok sadah di beberapa wilayah di Seiyun (Hadramaut). Mereka membagi pembacaan kitab sesuai dengan kemampuan dan semangat masing-masing. Tradisi ini juga berlaku di kota Zabid serta sebagian besar wilayah Yaman.

  • Hadis Tentang Niat

Mengenai hadis pertama dalam Shahih Bukhari, yang berbicara tentang niat:

[1/1] عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: ((إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَّا نَوَىٰ،فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ))

"Sesungguhnya amal perbuatan tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan. Barang siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin diraihnya, atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu kepada apa yang ia niatkan."

          Hijrah disyaratkan harus karena Allah. Jangan sampai tujuan hijrah beralih kepada hal lain selain Allah. Imam Daqiqil 'Aid menyatakan bahwa siapa pun yang berhijrah dengan niat dan tujuan tertentu, maka secara hukum dan syariat dia dihitung sebagai orang yang berhijrah.

          Secara bahasa, hijrah berarti meninggalkan sesuatu. Namun, hijrah tidak hanya berkaitan dengan perpindahan tempat. Hijrah juga bisa berupa meninggalkan keburukan, hubungan buruk dengan saudara, atau kebiasaan buruk lainnya. Dalam konteks hadis, hijrah merujuk pada perpindahan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dari Makkah ke Madinah sebelum terjadinya Fathu Makkah. Hijrah juga dapat mencakup perpindahan dari tempat kekufuran ke tempat Islam, bahkan lebih luas lagi, yaitu meninggalkan segala sesuatu yang tidak disukai Allah menuju hal-hal yang diridhai-Nya.

          Sebagaimana disebutkan dalam hadis lain:

الْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ
"Orang yang berhijrah adalah orang yang menjauhi apa yang telah dilarang oleh Allah."

          Poinnya adalah hijroh itu harus karena Allah, bukan masalah pribadi dalam maksud pekerjaan-pekerjaan duniawi, seperti orang yang pindah dari kota ke kota untuk berdagang, dapat uang, maka tidak dikatakan ia hijroh. Kecuali jika ia pergi dari kotanya dengan niat karena Allah, kemudian pas di tempat tujuan ada yang mewarkan nikah atau pekerjaannnya makin berkembang, ini rezeki dari Allah.

Wallahu a'lam bi Asshawab.

Mudah-mudahan bermanfaat.  https://t.me/darulihya

                                                    https://wa.me/c/6283141552774


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages