Ulasan Pengajian Tajrid Shohih Bukhori
Hari/ Tanggal : Kamis, tanggal 09 Rajab 1446 H - 09 Januari 2025 M
Oleh : Al Habib Abdul Qodir bin Abuya Ahmad bin Husein Assegaf
Memasuki bab tentang jenazah (janaiz), terdapat hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, yang berbunyi:
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: مَاتَ ابْنٌ لِأَبِي طَلْحَةَ وَأَبُو طَلْحَةَ خَارِجٌ، فَلَمَّا رَأَتْ امْرَأَتُهُ أَنَّهُ قَدْ مَاتَ هَيَّأَتْ شَيْئًا وَنَحَّتْهُ فِي جَانِبِ الْبَيْتِ. فَلَمَّا جَاءَ أَبُو طَلْحَةَ قَالَ: كَيْفَ الْغُلَامُ؟ قَالَتْ: قَدْ هَدَأَتْ نَفْسُهُ وَأَرْجُو أَنْ يَكُونَ قَدْ اسْتَرَاحَ. فَبَاتَ، فَلَمَّا أَصْبَحَ اغْتَسَلَ، فَلَمَّا أَرَادَ أَنْ يَخْرُجَ أَعْلَمَتْهُ أَنَّهُ قَدْ مَاتَ. فَصَلَّى مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ أَخْبَرَهُ بِمَا كَانَ مِنْهُمَا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يُبَارِكَ لَكُمَا فِي لَيْلَتِكُمَا. قَالَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ: فَرَأَيْتُ لَهُ تِسْعَةَ أَوْلَادٍ كُلُّهُمْ قَدْ قَرَأَ الْقُرْآنَ
Dalam hadis tersebut diceritakan bahwa seorang anak dari Abu Talhah meninggal dunia karena sakit saat Abu Talhah sedang berada di luar rumah (bekerja). Anak tersebut merupakan satu-satunya anak mereka. Ketika istrinya melihat bahwa anak itu telah meninggal dunia, ia mempersiapkan sesuatu untuk mengurus jenazah anak tersebut dan meletakkannya di salah satu sisi rumah yang tertutup.
Ketika Abu Talhah pulang, ia bertanya, 'Bagaimana keadaan anak kita?' Istrinya menjawab, 'Ia sudah lebih tenang dari sebelumnya, dan ia sedang beristirahat sekarang.' Mendengar hal itu, Abu Talhah merasa tenang, dan keduanya pun bermalam bersama. Keesokan paginya, setelah Abu Talhah mandi dan bersiap untuk keluar rumah, istrinya memberitahunya bahwa anak mereka telah meninggal dunia.
Abu Talhah kemudian pergi untuk melaksanakan salat bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Setelah itu, ia menceritakan kepada Nabi tentang apa yang telah mereka lakukan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 'Semoga Allah memberkahi kalian berdua di malam kalian.' Dari malam tersebut, mereka dikaruniai seorang anak laki-laki yang diberi nama Abdullah. Anak itu kemudian dibawa kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam untuk ditahnik. Seorang lelaki dari kalangan Anshar berkata, 'Aku melihat bahwa dari keturunan Abdullah lahir sembilan anak, semuanya hafal Al-Qur'an.'" (HR. Bukhari).
Dalam cerita tersebut, kita bisa mengambil pelajaran tentang ketegaran hati seorang istri yang tetap mengutamakan suaminya. Meskipun anaknya telah wafat, ia tetap memikirkan cara agar suaminya tetap tenang dan terhibur.
Dalam hadis lain, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا أَطَالَ أَحَدُكُمْ الْغَيْبَةَ فَلَا يَطْرُقْ أَهْلَهُ لَيْلًا
"Jika salah seorang dari kalian pergi (safar) dalam waktunya, maka janganlah pulang (secara mendadak) di malam hari" (HR. Bukhari)
Hadis ini Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melarang seorang suami pulang ke rumah secara mendadak tanpa memberi kabar sebelumnya. Para ulama menafsirkan larangan ini dengan alasan bahwa ketika seorang laki-laki berada di luar rumah, mereka melihat berbagai hal yang membuat pikiran mereka menjadi lelah dan tertekan. Oleh karena itu, ketika pulang ke rumah, seorang suami membutuhkan sesuatu yang menarik dan menghibur, salah satunya adalah penampilan istri yang menyenangkan.
Jika seorang suami pulang tanpa memberikan kabar, istri yang belum sempat bersiap atau berdandan mungkin tidak tampil menarik, yang dapat membuat suaminya merasa semakin lelah dan stres. Larangan ini menunjukkan pentingnya kesiapan istri untuk menyambut suami, sehingga tercipta suasana yang nyaman di rumah.
Kisah istri Abu Talhah yang diceritakan dalam hadis ini menjadi pelajaran berharga bagi kaum wanita. Ketegaran hati dan kebijaksanaannya menjadi teladan yang patut ditiru. Sebagaimana disebutkan dalam hadis Bukhari lainnya,
أَخَذَ عَلَيْنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ البَيْعَةِ أَنْ لاَ نَنُوحَ ، فَمَا وَفَتْ مِنَّا امْرَأَةٌ غَيْرَ خَمْسِ نِسْوَةٍ: أُمِّ سُلَيْمٍ، وَأُمِّ العَلاَءِ، وَابْنَةِ أَبِي سَبْرَةَ امْرَأَةِ مُعَاذٍ، وَامْرَأَتَيْنِ – أَوِ ابْنَةِ أَبِي سَبْرَةَ، وَامْرَأَةِ مُعَاذٍ وَامْرَأَةٍ أُخْرَى
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengambil sumpah setia dari kami ketika kami berbai'at, yaitu kami dilarang meratap. Dan tidak ada yang bisa menepatinya di antara kami, kecuali hanya lima perempuan saja, yaitu Ummu sulaim (istri Abu Talhah), Ummul 'Alaa, anak perempuan Abu Sabrah, istri mu'adz, dan satu wanita lainnya. (HR. Bukhari dan Muslim).
Pelajaran lain yang dapat diambil adalah adab istri Abu Talhah yang tidak langsung mengajak berbicara suaminya tentang hal-hal yang menyedihkan atau berat, terutama ketika suaminya dalam keadaan lelah, pusing, atau stres. Hal ini menunjukkan kecerdasan yang luar biasa dari istri Abu Talhah, yang mampu menciptakan suasana tenang dan mendukung di rumah meskipun sedang menghadapi musibah.
Memasuki hadis selanjutnya yang diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah radhiyallahu 'anha, beliau berkata bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَا تَسُبُّوا الْأَمْوَاتَ فَإِنَّهُمْ قَدْ أَفْضَوْا إِلَى مَا قَدَّمُوا
“Janganlah kalian mencaci orang-orang yang sudah meninggal, karena mereka telah mendapat balasan atas apa yang telah mereka perbuat.” (HR. Al-Bukhari)
Hadis ini mengajarkan kita bahwa mencaci orang yang sudah meninggal tidaklah bermanfaat. Mereka sudah menerima balasan atas amal perbuatan mereka. Cacian kita tidak akan mengurangi kenikmatan mereka di surga, begitu pula tidak akan menambah berat siksaan mereka di neraka.
Dalam riwayat lain disebutkan,
لَا تَسُبُّوا الأَمْوَاتَ فَتُؤْذُوا الأَحْيَاءَ
“Janganlah kau mencaci orang yang meninggal sehingga kau menyakiti orang yang masih hidup.”
Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya' Ulumuddin menjelaskan bahwa mencaci orang yang sudah meninggal dalam keadaan kafir itu diperbolehkan jika memang jelas keadaannya saat meninggal. Namun, jika statusnya masih dipertanyakan, maka hal itu tidak diperbolehkan. Sebab, kita tidak mengetahui akhir hidup seseorang. Bisa jadi seseorang yang kafir saat ini meninggal dalam keadaan beriman, begitu pula sebaliknya, orang yang beriman saat ini bisa saja meninggal dalam keadaan kafir.
Adapun orang yang jelas-jelas mati dalam keadaan kafir, sebagaimana yang telah disebutkan dalam Al-Qur'an, boleh disebutkan keadaannya dengan syarat hal itu tidak menyakiti hati orang-orang Muslim. Sebagai contoh, kisah Saidina Ikrimah, putra Abu Jahal, yang ayahnya telah diketahui mati dalam keadaan kafir. Meskipun demikian, Ikrimah tetap merasa sedih jika ada yang menghina atau mencaci ayahnya.
Dari sini, dapat dipahami bahwa terdapat dua syarat dalam membicarakan keburukan orang yang sudah meninggal:
- Tidak menyakiti hati Muslim lainnya.
- Diperbolehkan jika berkaitan dengan orang fasik atau yang akidahnya menyimpang, sehingga dengan menyebutkan keburukannya, umat Islam terhindar dari kesesatan yang sama. Apalagi jika orang tersebut memiliki banyak pengikut, maka perlu diperingatkan secara jelas dan terang-terangan agar umat tidak terjerumus.
Wallahu a'lam bi Asshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar